Catatan Hitam
Oleh
Selfia Mona Peggystia
Gak seperti biasanya, entah kenapa pagi
itu, aku bangun kesiangan. Rasa panik menghinggapiku. Saat mataku setengah
redup menerawang angka pada jam yang nempel dinding kamarku, samar-samar jarum
menunjukkan pukul tujuh pagi. Lantas ku tengok ke luar jendela kamar, matahari
sudah begitu tinggi. “Aku pasti telat,” pikirku. Tanpa pikir panjang, lekas ku
bergegas ke belakang rumah. Ku starter paksa pespa bututku segera meluncur.
Pespa
yang selalu menemaniku ke mana pun aku hendak pergi itu, yang biasanya
bermanja-manja dalam elus lembut jemariku, yang selalu minta kehangatan di tiap
pagi menjelang, kali ini harus meraung dalam gertak kasar tanganku, hanya agar
aku segera sampai sekolah tepat waktu. Aku tidak sempat sedikit pun berpikir
untuk membersihkan tubuh mungilmu, seperti biasa, di tiap pagi tiba. “Piket dah
menantiku,” tegas hatiku.
Hari
itu hari Kamis. Vira –nama depanku dan begitu biasa aku di panggil— terpampang di daftar nama-nama piket pada hari
itu. Ya, jadwal piket kelas yang mengharuskanku tiba 30 menit lebih awal
sebelum jam pelajaran sekolah dimulai. Alih-alih datang lebih awal, bahkan
untuk jadwal pelajaran pertama saja tidak bisa ku ikuti karena aku sampai lebih
dari setengah jam setelah pelajaran pertama dimulai.
Aku
mengegas pespaku lebih cepat lagi, takut dihukum gara-gara tidak melaksanakan
piket di sekolah. Sesuai prediksi, sesampai di sekolah, sosok wanita tinggi
ceking yang tidak kenal kompromi, berambut agak kriwul dan bermuka tirus putih
kepucat-pucatan, sudah berdiri di depanku dengan wajah tegasnya yang, kali ini
tampak semakin seram saja bagiku. Dia lah Bu Sandra, guru BP, yang selalu coba
dijauhi hampir sebagian besar siswa di sekolahku. Si Mak Lampir, begitu kami
menjulukinya diam-diam, tiap pagi melenggang kangkung keliling kelas untuk
memeriksa “keganjilan-keganjilan” yang ada, termasuk keterlambatanku pagi itu.
Hari yang apes.
“Berhenti!!!,”
teriaknya, menghadangku, membuat gendang telingaku sedikit berdengung. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja aku di introgasi
dengan beribu pertanyaan yang membuat ciut nyaliku. Aku yang bertubuh kecil, bagaikan
David di hadapan Goliat, yang hanya bisa tertunduk lesu mengikuti perintah Guru
BP yang masih melajang ini. “Dah tau hari ni jadwal piketmu, pake acara telat
segala!!! Mau lari dari tanggung jawab ya???!!!”, hardiknya. Jantungku berdegup
kencang, sementara suaraku seperti ditelan bumi dan terbata-bata menjawabnya.
“Sss.. sa.. sa.. saya telat bangun bu. Semalam begadang gara-gara nonton Argentina
lawan Jerman”. Tapi dasar maniak bola dan kebetulan tim favoritku bantai Messi
dkk. Dengan skor 0-4, ditambah pemain idolaku Miroslav Klose, nyumbang gol,
sekejap saja, penyakit cerewetku kambuh dan bercerita dengan lancar, tanpa
memperhatikan mimik wajah si Mak Lampir yang makin merah padam seperti habis
kena cipratan “bom” gas elpiji 3 kg. “Bu guru tau gak, tadi malem tuh pemain bola
yang aku idolain, itu loh si Klose, udah ganteng, berhasil nyetak gol lagi. Gak
sia-sia aku tongkrongin TV sampe pagi. Hebat kan Bu?!”. Dia yang sedari tadi
menyimak celotehanku akhirnya semakin kehilangan kontrol, langsung mendapratku
habis-habisan. “Stop.. Stop... stop !!! Cukup basa-basimu. Kamu ini bener-bener
keterlaluan. Udah tau salah, gak punya tatakrama lagi. Siswa macam apa kamu
ini.”
Aku
tersadar. Tubuhku mendadak menggigil beku, serasa seperti tersiram air es
mendengar “auman” keras guru yang terkenal galak ini. Aku diam seribu bahasa,
hanya bisa pasrah atas ketololan yang baru saja aku lakukan.
“Sekarang
juga, kamu lari keliling lapangan sekolah 10 putaran. Setelah itu, pungut
sampah di lapangan sampai bersih. Sekarang!!!, teriaknya marah seraya menunjuk
ke arah lapangan sekolah. Aku benar-benar tertunduk malu menyesali apa yang
telah aku perbuat. “Baik bu”, ucapku lirih.
Dua
pelanggaran telah aku lakukan hari ini. Kecewa, marah, sekaligus menyesal. Nasi
sudah menjadi bubur. Sebuah konsekuensi logis atas jejak-jejak tindakan yang
sudah terjadi, mungkin, bisa jadi cermin untukku ke depan. Entahlah.
Sementara aku masih menjadi yang
terhukum, teman-teman yang lain belajar seperti biasanya. Sampai akhirnya, dua
jam yang melelahkan itu lunas terbayar. Aku langsung masuk kelas disambut
teriakan-teriakan bernada mengolok-olok dari teman-teman sekelasku. Aku hanya
bisa tersenyum malu. Beruntung, suara-suara itu segera menghilang setelah pak
guru IPA yang baik hati itu membelaku.
Aku
langsung mengambil tempat duduk yang biasa aku tempati seraya membuka buku
pelajaran. Secara seksama ku coba mengikuti arah penjelasan yang sedang disampaikan
pak guru untuk mengalihkan perhatian teman-teman kelas yang sempat ramai
gara-gara keterlambatan dan kesalahanku sebelumnya. Nafas lega dan sumringah
rasa sedikit menyembul dalam benakku setelah keadaan ruang kelas mulai
terkendali. Namun, upayaku ternyata tidak cukup berhasil mengelabui sikap kalem
pak
guru yang murah senyum itu. Dengan langkah perlahan dia menghampiri mejaku lalu menanyakan soal
pekerjaan rumah (PR) yang dia berikan seminggu yang lalu.
“Baah,
mati aku, lupa lagi. Duh gimana nich masak kena hukuman yang kedua kalinya”,
keluhku dalam hati. Aku coba menguatkan pikiran dan hatiku. Perlahan ku coba menjelaskan
sebaik mungkin, agar kejadian tolol terhadap Ibu BP tidak terulang lagi. “Sebelumnya,
saya minta maaf pak, saya benar-benar lupa kalau ada tugas dari bapak. Sekali
lagi maaf”, jelasku mengiba. Tetap saja usahaku tidak menuai hasil. Pak guru
yang tadinya sempat membuatku tersenyum menang atas pembelaannya, kini,
seakan-akan tidak peduli. Kerut kening dan tarikan nafasnya tampak jelas
menunjukkan tanda-tanda tidak baik buatku. Aku menunduk, terdiam.
“Kamu ini sudah telat, lupa pula mengerjakan
tugas dari bapak. Keluar kamu dari kelas ini jangan ikut pelajaran bapak”,
tegas suaranya menggelegar memarahiku. Wajah imutku memerah malu. Aku keraskan
hati menahan tangis yang mau keluar. Dengan kepala tertunduk seakan menyentuh
tanah perlahan aku bangkit dan beringsut meninggalkan kelas diringi kicau
ejekan teman-teman seperti saat aku memasuki kelas. Taman rindang di halaman
depan sekolah, tempat biasanya aku melepas keluh kesah, tempat favoritku
berbagi suka-duka dengan alam, di situlah aku melepas tubuhku, menyesali dan
merenungi sejumlah kejadian beruntun yang menimpaku tiga jam terakhir pagi ini.
Aku sadar aku salah.
Lamunanku tiba-tiba buyar oleh
gangguan suara keras bel sekolah yang berdentang cukup panjang. “Pertanda
pulang sekolah kah?,” tanyaku heran. Ku amati jam tanganku, waktu baru
menunjukkan pukul 10 WITA. Masih terlalu pagi. “Inikan waktunya keluar main?,”
tanyaku lagi. Seperti biasa, di waktu yang sama pada hari-hari lain, seharusnya
bel berbunyi tiga kali sebagai isyarat keluar main.
Sontak
mataku mengitari setiap ruang kelas. Tampak siswa-siswi berhamburan keluar
membawa semua perlengkapan sekolahnya yang berarti mata pelajaran hari ini
sudah selesai semua. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan seorang teman
kelasku menenteng tas milkku yang ku tinggal di kelas seraya menghampiriku dan
menceritakan kalau hari ini kita pulang lebih awal karena seluruh guru akan
melaksanakan rapat untuk mempersiapkan agenda UAN kelas 3 yang empat hari lagi
berlangsung. “pantes aja belnya panjang,” sahutku pada Eva, sahabat karibku
ini.
Mulai
jum’at besok, selama seminggu ke depan, kilah Eva, menjadi hari tenang
sekaligus sekolah diliburkan untuk persiapan ujian kakak-kakak kelas kami.
Beruntung bagiku punya sahabat sebaik Eva yang selalu hadir di kala susah
maupun senang. Dia satu-satunya sahabat yang paling setia menemaniku meski
kadang aku terlampui cuek di hadapan dia dan teman-teman yang lain. Sejurus
kemudian, lembut aku menarik tangannya, mengajak ke tempat pespa butut
kesayanganku ku parkir. Kami pun pulang bareng.
Ku
geber pespaku keluar dari area sekolah. Belum terlalu jauh jarak yang kami
tempuh, pespaku melenggak-lenggok tidak karuan, membuatku hampir terjatuh.
Sial. Ternyata ban depan kuda besi imutku kempes. Dua buah paku nancap di dua bagian
ban. “huhh, sial, sapa yang tega-teganya buang paku di tengah jalan begini,”
gerutuku.
Refleks kepalaku tertuju ke bengkel
tambal ban. Mataku melirik kanan-kiri, sejauh mata memandang, yang tampak hanya
deretan pohon-pohon kecil di pinggir jalan yang sepertinya baru ditanam. Sepi. Tidak
ada tanda-tanda lokasi jasa pelayanan perbaikan motor yang biasanya ada di
pinggir jalan. Ini berarti aku harus menuntun “si imut”. Sementara Eva juga
harus menjadi “korban” dari nasib sialku sedari pagi tadi. “Udah,
ayo jalan, ntar kita gantian tuntun pespamu,” sontak Eva mengingatkan.
Hati
ku serasa ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Beruntung Eva yang
melihat perubahan di wajahku segera menenangkan hatiku yang lagi berkecamuk
dengan kata-kata lembut dan welas-asihnya. “yang sabar yach, semuanya ada
hikmahnya,” ucapnya tulus. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan di siang
menyengat itu berbalut peluh yang membanjiri tubuh dan pakaian seragam
sekolahku. Langkah kaki makin terasa berat dan tubuh mulai sempoyongan. Sampai akhirnya,
30 menit kemudian, di saat nafas semakin kembang-kempis dan semangat sudah
hampir habis, kami menemukan bengkel yang kami cari. “Alhamdulillah,” celetuk
kami berbarengan.
Setengah
jam kemudian ban vespa bututku kembali normal. Aku langsung menungganginya
menuju rumah Eva, terus melanjutkan perjalanan pulang. Di sepanjang jalan aku
coba berdamai dengan nasib sial yang ku alami dengan bernyanyi-nyanyi
melantunkan lagu “Bukan Permainan” milik Gita Gutawa.
Setengah jam kemudian, akupun tiba
di rumahku setelah memarkirkan motor di bagasi samping rumahku. Aku langsung
masuk kamar dan mulai membaringkan tubuhku di atas kasur yang empuk dan nyaman.
Rasa kantuk tidak tertahan lagi setelah sudah cukup lama menderita setengah
hari dan akhirnya akupun tertidur pulas sampai lupa lepas sepatu dan makan
siang. Tiga jam kemudian suara gedoran di pintu kamarku terdengar sangat
berisik dan mengganggu. Ternyata mamaku berusaha untuk membangunkanku. “Aduh,
Vira tidur kok malah pake’ sepatu sich sayang..,” ucap mamaku penuh kasih
sayang. Lantas aku menceritakan kejadian-kejadian buruk yang menipaku hari itu.
“Vira di hukum di sekolah gara-gara telat, gara-gara lupa ngerjain tugas, terus
parahnya lagi, tadi pas pulang di tengah jalan ban motor Vira pecah ma,” nadaku
menjelaskan. Mamaku terbahak-bahak mendengar keluh manjaku. “Hahaha, sapa suruh
begadang sampe tengah malem. Udah sana mandi dulu gieh, abis itu makan. Mama
udah siapin makanan di meja makan,” pinta mamaku penuh. Aku mengangguk
mengiyakan.
Keesokan harinya, aku mulai bangun
lebih awal meski aku tau hari itu masih libur tenang. Kejadian kemarin
membangkitkan semangatku untuk coba berbenah memperbaiki hal-hal yang tidak
baik. dan siap-siap untuk berangkat sekolah. Semua sudah siap, sarapan uda,
motor jugaq uda dipanasin. Tinggal jalan aja sekarang, ehhehee... Hmm semoga
hari ini tidak terjadi kesialan seperti kemarin, amiin.. Akupun langsung
menstater pespaku seperti biasanya. Beberapa menit kemudian, aku tiba
disekolah. Senengnya gag telat lagi kaya kemarin, hmm aku langsung menuju
kelasku. Hari ini proses belajar mengajar di tiadakan, di ganti dengan
bersih-bersih ruang kelas masing-masing. Setelah semua siswa/siswi membersihkan
kelasnya masing-masing, mulailah aku beristirahat sejenak. Sahabat-sahabatku
menghampiriku dan mengajakku ke toko milik sahabatku. Yaah kebetulan lagi gag
belajar jadi enak keluar masuk sekolah. Dan ternyata di toko milik sahabatku
banyak banget dijual pernak-pernik cewek, mulai dari gelang, kalung, bandana
pokoknya semua-semuanya dech. Saking senengnya milih gelang-gelang sampe lupa
waktu. Pak Suitre selaku kepala sekolah melihat kami di toko milik sahabatku dan
adik-adik kelas yang lagi melihat pak Suitre langsung melaporkan hal-hal yang
gag jelas tentang aku dan sahabat-sahabatku. Aku dan sahabat-sahabataku
langsung di panggil, satu persatu nama kami di tulis di selembar kertas. Lalu
kami di suruh membersihkan 3 ruangan yang masih kotor. Ckckck, gag nyangka sial
yang kemarin datang lagi. Huhuhuu, gerutuku. Tapi agak lumayanlah dihukum
bareng sahabat jadi gag terasa capek, hhe.. Ketika kami melihat adik-adik kelas yang melaporkan kami tadi,
kami langsung memasang wajah masam dan sinis ke mereka. Awas kalian semua, kami
akan membalas kalian, kata sahabatku sambil mengeluarkan ekspresi marah.
Tekadku bulat. Kesialan yang aku
alami seharian kemarin, akan ku jadikan pelajaran dalam hidupku. Aku percaya,
setiap tindakan selalu meninggalkan jejaknya. Jejak adalah cermin sejarah yang
selalu berharga sebagai bekal untuk hari esok yang lebih cerah. Jejak sialku
itu satu dari sekian catatan hitam yang akan selalu tercatat dalam memori
otakku. Ya, aku menyebut kesialan itu sebagai “Catatan Hitam” yang tersimpan
rapi dalam diary ku. Sebuah catatan sederhana tapi begitu berharga. Mulai dari
tidak melaksanakan piket, tidak mengerjakan tugas, keluar dari lingkungan dan
lain- lain, aku block dengan tinta hitam besar kehidupanku.
Kesalahan,
sekecil apapun, adalah catatan warna hitam yang berusaha untuk ku hapus
perlahan-lahan dalam hidupku. Aku bertekad, mulai sekarang tak ada lagi Catatan
Hitam dalam diaryku, karena aku akan mengisi hari-hariku dengan Catatan Putih
yang lebih baik. Semua hal yang aku alami, akan aku jadikan pelajaran dalam
hidupku dan berjanji tak akan mengulanginya kembali.
The End