Jumat, 29 Maret 2013

Salah Sangka


Salah Sangka
Oleh
Selfia Mona Peggystia


                Tiap pagi aku berjalan sekolah dan siangnyapun kembali untuk pulang. Aku dikenal kocak, baik sama siapa aja dan yang paling penting aku masih bisa tertawa. Hmm maklum bawaanku yang suka melucu membuat orang di sekitarku senang bergaul denganku. Mau di bilang nakal, ya nakal. Baik juga ada, ya sedang-sedanga aja sih. Hanya ada satu tempat aku lemah yaitu pelajaran, suka ga nyerap ke otak meskipun aku pelototin tu guru lagi ngejelasin babibu tapi aduh bukan kepalang, tetep aja ga bisa ngerti. Yang pasti tanpa aku sangka-sangka bisa masuk jurusan IPA, berharap aku masuk jurusan IPS namun nasib membawaku duduk dikelas IPA. Hartono, begitu wali kelas mengabsenku. Di hati kecilku sering bertanya-tanya, apa aku bisa jadi anak IPA sungguhan. Aku tak percaya, lantas setiap ada tugas dari sekolah tak urung niatku untuk mengerjakannya, melainkan hanya mengerjakannya di sekolah. Ga ada yang ngebebanin masuk jurusan IPA, karena banyak yang ngebantu apalagi di depanku ada Eko, siswa yang lumayan pintar. Setiap ada tugas aku selalu melihat pekerjaan Eko, gimana engga dia nawarin sendiri jawabannya, ya aku samber petir aja sambil tersenyum, hehee.....
            Jam ketigapun di mulai dengan santapan yang paling memusingkan otakku. Kimia yang ga perna aku ngerti cara mengerjakannya. Setiap aku di tunjuk untuk mengerjakan soal, lagi-lagi Eko membantuku, dia dengan ikhlasnya menyodorkan jawaban yang uda dia hitung dan alhasil aku maju kedepan mengerjakan soal yang tertera di papan tulis. Setelah di koreksi tak ada sedikitpun yang salah, aku berlagak juara di kelas itu sampai temen-temenku yang lain di suruh mencontoh padaku. Ada yang ketawa kecut sambil geleng-geleng kepala. Aku tak menghiraukannya, semua teman sekelas sudah tau bagaimana aku sebenarnya, hanya gara-gara jawaban dari Eko aku bebas dari serangan guru kimia itu. Tak hanya dalam pelajaran kimia saja, matematika fisikapun aku terselamatkan oleh Eko. Teman yang paling baik yang pernah aku kenal. Suatu hari aku bertanya kepada Eko, “bro, kok kamu ga mau nunjukin dirimu kalo kamu tu bisa, apa-apa selalu bisa. Kenapa juga kamu selalu membantuku, semua guru jadi salah sangka menilaiku”.
 “Aku malu, apalagi harus maju kedepan jawab soal”, jawabnya enteng. Apa?? malu kamu bilang, siapa yang membuatmu malu, orang pintar tu di kagumi semua orang apalagi sosok seorang cewek. Mereka mengagumi cowok pintar seperti kamu, “jelasku panjang”. Eko hanya mengangguk tersipu malu.
            Ni anak di bilangin kok ga ngerti-ngerti ya, coba aja aku jadi dia, mungkin dengan cepatnya cewek-cewek ngedeketin aku. Cewek kan bagian dari hidup masa sekarang, masa depan ya istri, hehee.... Bagiku ga ada cewek terasa sepi, bisa di ibaratkan bagai sayur tanpa garam. Ga ada garam jadi ga lengkap, cowokpun begitu, pikirku. Buyar seketika, tersedak-sedak oleh minuman yang aku minum karena di kagetkan oleh sesosok pria jangkung itu. Salah sangka yang akan membahayakanku nanti, terpilih mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat. Mati aku, bibirku lantang mengucapkan. Aku harus bener-bener belajar, Ekopun harus bertanggungjawab karena memberi jawabannya. Akupun meminta Eko untuk mengajari pelajaran yang aku ga ngerti, setiap jam istirahat malah tak beristirahat melainkan terus belajar dan belajar. Sempat berputus asa karena tak kunjung bisa, namun Eko menyemangatiku. Dari hari ke hari, sedikit demi sedikit aku bisa tapi belum semuanya, hanya beberapa saja. Tiga hari lagi lomba akan berlangsung, pak guru menyodorkan beberapa kertas yang tak lain adalah tumpukan soal yang udah lengkap dengan jawaban sekaligus bagaimana mengerjakannya. Tapi dasar aku yang bodoh, ada jawabannyapun aku ga bisa ngerti. Betapa bodohnya aku. Aku terus mempelajari apa yang di ajarkan Eko, mengulang dan mengulang semua yang diajarkan. Soal yang seabrek di kasi pak gurupun, hanya bisa aku pelototin dan ga ada cara lain cuma bisa menghafal jawaban yang akan membenarkan aku nanatinya.
            Tiba saat lomba berlangsung, aku dengan group dari sekolahku bersama Ida dan Ayu. Pertanyaan pertama yang dibacakan juri seakan tak asing kudengar. Gimana engga, aku menghafal betul soal-soal yang di kasi pak guru beberapa hari yang lalu. Obsennya aja yang ngebedain, langsung memencet tombol dan menjawabnya. Yess, jawabanku benar. Pertanyaan kedua dan selanjutnya di jawab kedua temenku, sesekali kami bebarengan karena memiliki pendapat yang sama. Sampai babak rebutanpun menjadi titik akhir bertarung dalam arena kursi panas menjadi sang juara. Lagi-lagi soal yang dibacakan juri mirip dengan yang kuhafalkan, lekas dengan cepat aku menjawabnya, “sikat bro”, terucap dalam hati. Lagi-lagi aku benar. Pertanyaan terakhir agak menyulitkan tapi kedua temenku membantu, kita sama-sama mencari jawaban yang paling benar, mulai mengingat apa yang diajarkan Eko, yah.... setelah merundingkan jawaban paling benar dengan Ida dan Ayu, ternyata jawaban kami sama. Kami bertiga bebarengan memencet tombol, lalu bebarengan pula menjawabnya. Skor paling tinggi, kamilah yang mendudukinya hingga pada hari itu aku dan kedua temanku menjadi sang juara. Merdeka...!!!
            Senyum pertama yang kuperlihatkan pada Eko, iapun membalasnya sambil mengucapkan kata “selamat”. Pak gurupun membelai-belai rambutku, “kamu memang cerdas nak, bapak bangga kepadamu”, begitu ucap pria jangkung itu. Dalam hati aku hanya bisa tertawa sendiri, tak menyangka hari itu menjadi sang juara. Salah sangka yang menguntungkanku, hehehee..... Peace broooooo...!!!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar