Salah
Sangka
Oleh
Selfia
Mona Peggystia
Tiap
pagi aku berjalan sekolah dan siangnyapun kembali untuk pulang. Aku dikenal
kocak, baik sama siapa aja dan yang paling penting aku masih bisa tertawa. Hmm
maklum bawaanku yang suka melucu membuat orang di sekitarku senang bergaul
denganku. Mau di bilang nakal, ya nakal. Baik juga ada, ya sedang-sedanga aja
sih. Hanya ada satu tempat aku lemah yaitu pelajaran,
suka ga nyerap ke otak meskipun aku pelototin tu guru lagi ngejelasin babibu
tapi aduh bukan kepalang, tetep aja ga bisa ngerti. Yang pasti tanpa aku
sangka-sangka bisa masuk jurusan IPA, berharap aku masuk jurusan IPS namun
nasib membawaku duduk dikelas IPA. Hartono, begitu wali kelas mengabsenku. Di
hati kecilku sering bertanya-tanya, apa aku bisa jadi anak IPA sungguhan. Aku
tak percaya, lantas setiap ada tugas dari sekolah tak urung niatku untuk
mengerjakannya, melainkan hanya mengerjakannya di sekolah. Ga ada yang
ngebebanin masuk jurusan IPA, karena banyak yang ngebantu apalagi di depanku
ada Eko, siswa yang lumayan pintar. Setiap ada tugas aku selalu melihat
pekerjaan Eko, gimana engga dia nawarin sendiri jawabannya, ya aku samber petir
aja sambil tersenyum, hehee.....
Jam
ketigapun di mulai dengan santapan yang paling memusingkan otakku. Kimia yang ga
perna aku ngerti cara mengerjakannya. Setiap aku di tunjuk untuk mengerjakan
soal, lagi-lagi Eko membantuku, dia dengan ikhlasnya menyodorkan jawaban yang
uda dia hitung dan alhasil aku maju kedepan mengerjakan soal yang tertera di
papan tulis. Setelah di koreksi tak ada sedikitpun yang salah, aku berlagak
juara di kelas itu sampai temen-temenku yang lain di suruh mencontoh padaku.
Ada yang ketawa kecut sambil geleng-geleng kepala. Aku tak menghiraukannya,
semua teman sekelas sudah tau bagaimana aku sebenarnya, hanya gara-gara jawaban
dari Eko aku bebas dari serangan guru kimia itu. Tak hanya dalam pelajaran
kimia saja, matematika fisikapun aku terselamatkan oleh Eko. Teman yang paling
baik yang pernah aku kenal. Suatu hari aku bertanya kepada Eko, “bro, kok kamu
ga mau nunjukin dirimu kalo kamu tu bisa, apa-apa selalu bisa. Kenapa juga kamu
selalu membantuku, semua guru jadi salah sangka menilaiku”.
“Aku malu,
apalagi harus maju kedepan jawab soal”, jawabnya enteng. Apa?? malu kamu
bilang, siapa yang membuatmu malu, orang pintar tu di kagumi semua orang
apalagi sosok seorang cewek. Mereka mengagumi cowok pintar seperti kamu,
“jelasku panjang”. Eko hanya mengangguk tersipu malu.
Ni
anak di bilangin kok ga ngerti-ngerti ya, coba aja aku jadi dia, mungkin dengan
cepatnya cewek-cewek ngedeketin aku. Cewek kan bagian dari hidup masa sekarang,
masa depan ya istri, hehee.... Bagiku ga ada cewek terasa sepi, bisa di
ibaratkan bagai sayur tanpa garam. Ga
ada garam jadi ga lengkap, cowokpun begitu, pikirku. Buyar seketika,
tersedak-sedak oleh minuman yang aku minum karena di kagetkan oleh sesosok pria
jangkung itu. Salah sangka yang akan membahayakanku nanti, terpilih mewakili
sekolah untuk lomba cerdas cermat. Mati aku, bibirku lantang mengucapkan. Aku
harus bener-bener belajar, Ekopun harus bertanggungjawab karena memberi
jawabannya. Akupun meminta Eko untuk mengajari pelajaran yang aku ga ngerti,
setiap jam istirahat malah tak beristirahat melainkan terus belajar dan
belajar. Sempat berputus asa karena tak kunjung bisa, namun Eko menyemangatiku.
Dari hari ke hari, sedikit demi sedikit aku bisa tapi belum semuanya, hanya
beberapa saja. Tiga hari lagi lomba akan berlangsung, pak guru menyodorkan
beberapa kertas yang tak lain adalah tumpukan soal yang udah lengkap dengan
jawaban sekaligus bagaimana mengerjakannya. Tapi dasar aku yang bodoh, ada
jawabannyapun aku ga bisa ngerti. Betapa bodohnya aku. Aku terus mempelajari
apa yang di ajarkan Eko, mengulang dan mengulang semua yang diajarkan. Soal
yang seabrek di kasi pak gurupun, hanya bisa aku pelototin dan ga ada cara lain
cuma bisa menghafal jawaban yang akan membenarkan aku nanatinya.
Tiba
saat lomba berlangsung, aku dengan group dari sekolahku bersama Ida dan Ayu.
Pertanyaan pertama yang dibacakan juri seakan tak asing kudengar. Gimana engga,
aku menghafal betul soal-soal yang di kasi pak guru beberapa hari yang lalu.
Obsennya aja yang ngebedain, langsung memencet tombol dan menjawabnya. Yess, jawabanku
benar. Pertanyaan kedua dan selanjutnya di jawab kedua temenku, sesekali kami
bebarengan karena memiliki pendapat yang sama. Sampai babak rebutanpun menjadi
titik akhir bertarung dalam arena kursi panas menjadi sang juara. Lagi-lagi
soal yang dibacakan juri mirip dengan yang kuhafalkan, lekas dengan cepat aku
menjawabnya, “sikat bro”, terucap
dalam hati. Lagi-lagi aku benar. Pertanyaan terakhir agak menyulitkan tapi
kedua temenku membantu, kita sama-sama mencari jawaban yang paling benar, mulai
mengingat apa yang diajarkan Eko, yah.... setelah merundingkan jawaban paling
benar dengan Ida dan Ayu, ternyata jawaban kami sama. Kami bertiga bebarengan
memencet tombol, lalu bebarengan pula menjawabnya. Skor paling tinggi, kamilah
yang mendudukinya hingga pada hari itu aku dan kedua temanku menjadi sang juara. Merdeka...!!!
Senyum
pertama yang kuperlihatkan pada Eko, iapun membalasnya sambil mengucapkan kata
“selamat”. Pak gurupun membelai-belai
rambutku, “kamu memang cerdas nak, bapak bangga kepadamu”, begitu ucap pria
jangkung itu. Dalam hati aku hanya bisa tertawa sendiri, tak menyangka hari itu
menjadi sang juara. Salah sangka yang
menguntungkanku, hehehee..... Peace broooooo...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar