Jumat, 29 Maret 2013

Seruling Cinta


Seruling Cinta
Oleh
Selfia Mona Peggystia



          Hamparan sawah membentang di penjuru sebuah desa, padi-padian menguning, desahan air mengalir tiada hilirnya dan suara binatang menambah irama di desa itu. Desa yang rukun, aman dan tenteram. Panorama nan indah terpancar dari desa tersebut.
Pagi-pagi itu seorang penggembala sapi menuntun sapinya untuk memandikan di sungai, dengan ikhlasnya ia memandikan dan memberi makan sapinya. Ketelatenannya dalam memelihara sapi dan patuh atas perintah kakek-neneknya membuat ia semakin di sayang oleh kakek-neneknya. Yanto, begitu ia akrab di panggil. Lelaki yang berparas tampan ini tak pernah sombong dan selalu berlaku baik terhadap setiap orang yang mengenalnya. Rendah hati tak terpaut dengan penampilan lelaki biasanya. Ia lebih mengutamakan apa yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, karena dari itu ia bisa memberi uang kepada kakek-nenek yang telah merawatnya selama kedua orang tuanya tiada. Ketika dua tahun yang lalu, saat itu Yanto berulang tahun. Kedua orang tuanya mengajak ia ke pasar malam untuk membeli apa yang ia suka sebagai hadiah untuknya. Siapa sangka akan terjadi kecelakaan pada malam itu, segerombolan anak muda yang sedang mengendarai mobil dengan kecepatan yang tak biasa menabrak dagangan di pasar malam itu. Tepat pada tempat kedua orang tua Yanto berdiri, di depan mata, hal layak ramai kecelakaan itu terjadi seketika jua. Yanto menjerit ketakutan dan menangis tiada henti. Darah di sekujur baju Yanto menjadi akhir pertemuan dengan kedua orang tuanya pada malam itu.
          Keesekon harinya, pondok kecil tempat Yanto tinggal sudah ramai di kunjungi warga untuk mengucapkan belasungkawan. Wajah memurung yang sedari pagi itu terlihat dari wajah Yanto, luka di hatinya terasa pedih, begitu cepat ia kehilangan kedua orang tuanya. Menjadi hadiah yang tak pernah terbayang di hari ulang tahunnya. Pemakamanpun berlangsung haru penuh duka.
          Tiga hari telah lewat tanpa melihat kedua orang tuanya berada di sampingnya, hanya kenangan yang terus membayang dan menghantui. Bingkai segi empat kecil yang terus di lihatnya, sesosok ibu dan bapaknya dalam foto di bingkai kecil tua itu. Berhari-hari ia menjalani hidup bersama kakek dan neneknya. Menerusi pekerjaan bapaknya yang menjadi penggembala sapi tanpa membantah sedikitpun. Ia teringat bagaimana bapaknya mencarikan sekertas uang untuk ia makan dan sekarang itulah yang menjadi penyemangat hidupnya. Setiap pagi dan sore selalu mengurus sapi-sapinya dan kadang membantu kakeknya bekerja di ladang. Hari itu ia merasa sedikit pegal, lalu ia pergi ke sungai untuk mengambil air. Sebuah kayu hanyut di terjang air sungai yang begitu deras, nampak beda dengan bentuknya. Yanto yang melihatnya langsung saja menyelang dan mengambil kayu itu. Setelah mendapatkannya baru ia jelas melihatnya, tak terpikir olehnya bahwa yang ia dapatkan adalah seruling sederhana. Ia tak bisa memainkannya sampai ia menceritakan kepada kakek dimana ia menemukan seruling itu. Kakeknyapun mengajari bagaimana memegang dan memainkan seruling tersebut. Berhari-hari ia mencoba memainkan seruling itu, awalnya bunyi yang dikeluarkan terdengar tersedak-sedak tak karuan sampai pada akhirnya ia pasih memainkannya.
          Seperti ada yang beda, yang setiap pagi dan sore pergi menggembala sapi, sekarang diiringi alunan bunyi yang terdengar dari seruling tersebut. Senyum itupun terpancar dari wajah Yanto yang sedari dulu tak pernah terlihat. Di desa itupun ada penduduk baru yang tinggal dan akan menetap di desa tersebut. Lumayan dari keluarga berada dan mempunyai dua orang putri. Putri pertamanya sangat baik tidak dengan putri keduanya malah sebaliknya. Sombong dan berlaku seperti putri tercantik di desa itu. Memang ia cantik tapi hatinya tak secantik wajah yang ia miliki. Sampai suatu ketika ada seorang pengemis datang kepondok tempat ia tinggal, lalu meminta sedikit makan karena lapar. Putri itupun langsung memaki-maki pengemis tersebut, “eh nenek tua, pikun, mendingan nenek pergi dari sini, saya tidak tahan dengan bau nenek apalagi baju nenek yang compang-camping tak karuan itu, jijik aku melihatmu, pergi-pergi”, begitu longgar terucap dari bibirnya sambil mendorong nenek itu sampai jatuh. Hati pengemis tua itu tersakiti. Tak ada yang tau siapa pengemis itu sebenarnya, bila sedikit saja tersakiti hatinya ia akan mengutuk orang yang menyakitinya. Segera saja pengemis tua itu membaca mantra lalu mengutuk putri. Seakan terkaget dengan apa yang terjadi pada anaknya. Putripun tiba-tiba pingsan dan setelah ia bangun, kutukan itupun datang diiringi hujan deras, angin serta gemuruh suara halilintar. Seketika itupun putri berubah menjadi seekor ular. “Tidaaaaaaaaaaak”, teriak sang ibu dan kemudian pingsan. Putri yang kini menjelma menjadi ular hanya bisa diam di kamar saja, malu untuk keluar karena tubuhnya menjelma menjadi seekor ular. “ Kenapa aku menjelma menjadi ular seperti ini, mana kecantikanku yang dulu”, bentaknya.
10 tahun kemudian
          Yanto kini menjadi pria yang lebih dewasa, tampan dan perkasa. Setiap hari ia membanting tulang untuk kakek-neneknya, ialah yang sekarang menjadi tulang punggung, karena kakeknya sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan. Batuk yang meradang tak jua lekas sembuh, di bawa ke balai pengobatanpun tak cukup. Penyakit itu terus-terusan mewabah di seluruh tubuh kakek Yanto. Tiba waktunya hembusan nafas terakhir itu terdengar, “cu.... cuku Yanto sambil terbata-bata, jagalah nenekmu dengan baik, pinta kakek Yanto. Sambil menitikkan air matanya, Yanto memeluk erat tubuh sang kakek kala kepergiannya.  Begitu di makamkan, teringat beberapa tahun lalu ketika kedua orang tuanya meninggal seperti terulang kembali, saat itu, waktu itu, tangisan itu, terulang kembali hari ini. Kakek telah pergi, hanya nenek yang kumiliki sekarang, sembari memeluk erat neneknya.
Teringat kembali saat kakek mengajari ia memainkan seruling, mengusik hati bila mengingatnya. Tapi apalah semuanya, cobaan sudah terjadi, aku harus kuat dan tak boleh lemah.
Siang itupun Yanto pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar. Putripun sudah tak tahan hanya berdiam di dalam kamar saja, diam-diam ia pergi lalu menyelinap ke dalam hutan.
 Rasa lelahpun datang, Yanto mulai beristirahat di bawah bambu-bambu sambil memainkan serulingnya. Begitu indah kedengarannya sampai Putripun mendengar dan mencari arah datangnya suara seruling. Ibu bapaknya dan seluruh keluarga di rumah Putri begitu cemas atas ketiadaan anaknya di kamar. Terus mencari dan mencari sampai ke pelosok desa. Kemana kamu anakku, begitu ucap ibunya sambil menitikkan air mata. Keluarganyapun memutuskan untuk mencari ke hutan. Menembus terjang belukar yang begitu padat, nyamuk berdansa-dansa kedatangan tamu, tak jua dihiraukannya. Terus mencari di mana putri berada. Sedang putri melihat seseorang memainkan seruling tersebut, di depan Yanto, Putri mulai menari-nari seperti tarian ular jika hendak mendengar bunyi seruling. Terkaget melihat ular itu, Yanto semakin dan terus memainkan seruling tersebut sampai keluarga Putripun menyaksikan ular yang adalah anaknya menari-nari hingga tak lama jatuh pingsan. Keajaibanpun datang, ular yang tadinya menari-nari kini berubah peraduan menjadi Putri yang sangat cantik. Pusing terasa setelah ia siuman, ibu dan bapaknyapun memeluk Putrinya. Mereka bahagia dan bersyukur Putrinya sudah kembali menjadi manusia.
Tercengang dalam wajah Yanto, benar-benar ajaib dan menganehkan. Keluarga Putripun tak lupa berterima kasih pada Yanto yang telah membebaskan Putrinya dari kutukan. Sebagai tanda terima kasihnya, Yantopun di nikahkan dengan Putri. Putri sadar akan kesalahannya dan menjadi Putri yang baik hati. Merekapun hidup bahagia dalam tali kasih cinta.

The End

Moral
          Sempurana hanya milik Sang Pencipta. Tiada seorangpun yang akan menandingi-Nya. Milikilah hati yang bersih, baik dan tak pernah merasa paling sempurna. Kecantikan bukan hanya terlihat dari luar saja, dari hati yang baik jua patut untuk di nilai. Janganlah kalian punya sikap sombong karena Tuhan tak suka terhadap orang yang sombong.
               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar