Seruling
Cinta
Oleh
Selfia
Mona Peggystia
Hamparan sawah
membentang di penjuru sebuah desa, padi-padian menguning, desahan air mengalir
tiada hilirnya dan suara binatang menambah irama di desa itu. Desa yang rukun,
aman dan tenteram. Panorama nan indah terpancar dari desa tersebut.
Pagi-pagi itu seorang penggembala sapi menuntun sapinya untuk
memandikan di sungai, dengan ikhlasnya ia memandikan dan memberi makan sapinya.
Ketelatenannya dalam memelihara sapi dan patuh atas perintah kakek-neneknya
membuat ia semakin di sayang oleh kakek-neneknya. Yanto, begitu ia akrab di
panggil. Lelaki yang berparas tampan ini tak pernah sombong dan selalu berlaku
baik terhadap setiap orang yang mengenalnya. Rendah hati tak terpaut dengan
penampilan lelaki biasanya. Ia lebih mengutamakan apa yang menjadi pekerjaannya
sehari-hari, karena dari itu ia bisa memberi uang kepada kakek-nenek yang telah
merawatnya selama kedua orang tuanya tiada. Ketika dua tahun yang lalu, saat
itu Yanto berulang tahun. Kedua orang tuanya mengajak ia ke pasar malam untuk
membeli apa yang ia suka sebagai hadiah untuknya. Siapa sangka akan terjadi
kecelakaan pada malam itu, segerombolan anak muda yang sedang mengendarai mobil
dengan kecepatan yang tak biasa menabrak dagangan di pasar malam itu. Tepat
pada tempat kedua orang tua Yanto berdiri, di depan mata, hal layak ramai
kecelakaan itu terjadi seketika jua. Yanto menjerit ketakutan dan menangis
tiada henti. Darah di sekujur baju Yanto menjadi akhir pertemuan dengan kedua
orang tuanya pada malam itu.
Keesekon
harinya, pondok kecil tempat Yanto tinggal sudah ramai di kunjungi warga untuk
mengucapkan belasungkawan. Wajah memurung yang sedari pagi itu terlihat dari
wajah Yanto, luka di hatinya terasa pedih, begitu cepat ia kehilangan kedua
orang tuanya. Menjadi hadiah yang tak pernah terbayang di hari ulang tahunnya.
Pemakamanpun berlangsung haru penuh duka.
Tiga hari telah
lewat tanpa melihat kedua orang tuanya berada di sampingnya, hanya kenangan
yang terus membayang dan menghantui. Bingkai segi empat kecil yang terus di
lihatnya, sesosok ibu dan bapaknya dalam foto di bingkai kecil tua itu.
Berhari-hari ia menjalani hidup bersama kakek dan neneknya. Menerusi pekerjaan
bapaknya yang menjadi penggembala sapi tanpa membantah sedikitpun. Ia teringat
bagaimana bapaknya mencarikan sekertas uang untuk ia makan dan sekarang itulah
yang menjadi penyemangat hidupnya. Setiap pagi dan sore selalu mengurus
sapi-sapinya dan kadang membantu kakeknya bekerja di ladang. Hari itu ia merasa
sedikit pegal, lalu ia pergi ke sungai untuk mengambil air. Sebuah kayu hanyut
di terjang air sungai yang begitu deras, nampak beda dengan bentuknya. Yanto
yang melihatnya langsung saja menyelang dan mengambil kayu itu. Setelah
mendapatkannya baru ia jelas melihatnya, tak terpikir olehnya bahwa yang ia
dapatkan adalah seruling sederhana. Ia tak bisa memainkannya sampai ia
menceritakan kepada kakek dimana ia menemukan seruling itu. Kakeknyapun
mengajari bagaimana memegang dan memainkan seruling tersebut. Berhari-hari ia
mencoba memainkan seruling itu, awalnya bunyi yang dikeluarkan terdengar
tersedak-sedak tak karuan sampai pada akhirnya ia pasih memainkannya.
Seperti ada
yang beda, yang setiap pagi dan sore pergi menggembala sapi, sekarang diiringi
alunan bunyi yang terdengar dari seruling tersebut. Senyum itupun terpancar
dari wajah Yanto yang sedari dulu tak pernah terlihat. Di desa itupun ada
penduduk baru yang tinggal dan akan menetap di desa tersebut. Lumayan dari
keluarga berada dan mempunyai dua orang putri. Putri pertamanya sangat baik
tidak dengan putri keduanya malah sebaliknya. Sombong dan berlaku seperti putri
tercantik di desa itu. Memang ia cantik tapi hatinya tak secantik wajah yang ia
miliki. Sampai suatu ketika ada seorang pengemis datang kepondok tempat ia
tinggal, lalu meminta sedikit makan karena lapar. Putri itupun langsung
memaki-maki pengemis tersebut, “eh nenek tua, pikun, mendingan nenek pergi dari
sini, saya tidak tahan dengan bau nenek apalagi baju nenek yang compang-camping
tak karuan itu, jijik aku melihatmu, pergi-pergi”, begitu longgar terucap dari
bibirnya sambil mendorong nenek itu sampai jatuh. Hati pengemis tua itu
tersakiti. Tak ada yang tau siapa pengemis itu sebenarnya, bila sedikit saja
tersakiti hatinya ia akan mengutuk orang yang menyakitinya. Segera saja
pengemis tua itu membaca mantra lalu mengutuk putri. Seakan terkaget dengan apa
yang terjadi pada anaknya. Putripun tiba-tiba pingsan dan setelah ia bangun,
kutukan itupun datang diiringi hujan deras, angin serta gemuruh suara
halilintar. Seketika itupun putri berubah menjadi seekor ular.
“Tidaaaaaaaaaaak”, teriak sang ibu dan kemudian pingsan. Putri yang kini
menjelma menjadi ular hanya bisa diam di kamar saja, malu untuk keluar karena
tubuhnya menjelma menjadi seekor ular. “ Kenapa aku menjelma menjadi ular
seperti ini, mana kecantikanku yang dulu”, bentaknya.
10 tahun
kemudian
Yanto kini
menjadi pria yang lebih dewasa, tampan dan perkasa. Setiap hari ia membanting
tulang untuk kakek-neneknya, ialah yang sekarang menjadi tulang punggung,
karena kakeknya sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan. Batuk yang meradang
tak jua lekas sembuh, di bawa ke balai pengobatanpun tak cukup. Penyakit itu
terus-terusan mewabah di seluruh tubuh kakek Yanto. Tiba waktunya hembusan
nafas terakhir itu terdengar, “cu.... cuku Yanto sambil terbata-bata, jagalah
nenekmu dengan baik, pinta kakek Yanto. Sambil menitikkan air matanya, Yanto
memeluk erat tubuh sang kakek kala kepergiannya. Begitu di makamkan, teringat beberapa tahun
lalu ketika kedua orang tuanya meninggal seperti terulang kembali, saat itu,
waktu itu, tangisan itu, terulang kembali hari ini. Kakek telah pergi, hanya
nenek yang kumiliki sekarang, sembari memeluk erat neneknya.
Teringat kembali saat kakek mengajari ia memainkan seruling,
mengusik hati bila mengingatnya. Tapi apalah semuanya, cobaan sudah terjadi,
aku harus kuat dan tak boleh lemah.
Siang itupun Yanto pergi ke dalam
hutan untuk mencari kayu bakar. Putripun sudah tak tahan hanya berdiam di dalam
kamar saja, diam-diam ia pergi lalu menyelinap ke dalam hutan.
Rasa lelahpun datang,
Yanto mulai beristirahat di bawah bambu-bambu sambil memainkan serulingnya. Begitu
indah kedengarannya sampai Putripun mendengar dan mencari arah datangnya suara
seruling. Ibu bapaknya dan seluruh keluarga di rumah Putri begitu cemas atas
ketiadaan anaknya di kamar. Terus mencari dan mencari sampai ke pelosok desa.
Kemana kamu anakku, begitu ucap ibunya sambil menitikkan air mata.
Keluarganyapun memutuskan untuk mencari ke hutan. Menembus terjang belukar yang
begitu padat, nyamuk berdansa-dansa kedatangan tamu, tak jua dihiraukannya.
Terus mencari di mana putri berada. Sedang putri melihat seseorang memainkan
seruling tersebut, di depan Yanto, Putri mulai menari-nari seperti tarian ular
jika hendak mendengar bunyi seruling. Terkaget melihat ular itu, Yanto semakin
dan terus memainkan seruling tersebut sampai keluarga Putripun menyaksikan ular
yang adalah anaknya menari-nari hingga tak lama jatuh pingsan. Keajaibanpun
datang, ular yang tadinya menari-nari kini berubah peraduan menjadi Putri yang
sangat cantik. Pusing terasa setelah ia siuman, ibu dan bapaknyapun memeluk Putrinya.
Mereka bahagia dan bersyukur Putrinya sudah kembali menjadi manusia.
Tercengang dalam wajah Yanto, benar-benar ajaib dan
menganehkan. Keluarga Putripun tak lupa berterima kasih pada Yanto yang telah
membebaskan Putrinya dari kutukan. Sebagai tanda terima kasihnya, Yantopun di
nikahkan dengan Putri. Putri sadar akan kesalahannya dan menjadi Putri yang
baik hati. Merekapun hidup bahagia dalam tali kasih cinta.
The End
Moral
Sempurana hanya
milik Sang Pencipta. Tiada seorangpun yang akan menandingi-Nya. Milikilah hati
yang bersih, baik dan tak pernah merasa paling sempurna. Kecantikan bukan hanya
terlihat dari luar saja, dari hati yang baik jua patut untuk di nilai.
Janganlah kalian punya sikap sombong karena Tuhan tak suka terhadap orang yang
sombong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar