Jumat, 29 Maret 2013

Catatan Hitam


Catatan Hitam
Oleh
Selfia Mona Peggystia


            Gak seperti biasanya, entah kenapa pagi itu, aku bangun kesiangan. Rasa panik menghinggapiku. Saat mataku setengah redup menerawang angka pada jam yang nempel dinding kamarku, samar-samar jarum menunjukkan pukul tujuh pagi. Lantas ku tengok ke luar jendela kamar, matahari sudah begitu tinggi. “Aku pasti telat,” pikirku. Tanpa pikir panjang, lekas ku bergegas ke belakang rumah. Ku starter paksa pespa bututku segera meluncur.
Pespa yang selalu menemaniku ke mana pun aku hendak pergi itu, yang biasanya bermanja-manja dalam elus lembut jemariku, yang selalu minta kehangatan di tiap pagi menjelang, kali ini harus meraung dalam gertak kasar tanganku, hanya agar aku segera sampai sekolah tepat waktu. Aku tidak sempat sedikit pun berpikir untuk membersihkan tubuh mungilmu, seperti biasa, di tiap pagi tiba. “Piket dah menantiku,” tegas hatiku.
Hari itu hari Kamis. Vira –nama depanku dan begitu biasa aku di panggil—  terpampang di daftar nama-nama piket pada hari itu. Ya, jadwal piket kelas yang mengharuskanku tiba 30 menit lebih awal sebelum jam pelajaran sekolah dimulai. Alih-alih datang lebih awal, bahkan untuk jadwal pelajaran pertama saja tidak bisa ku ikuti karena aku sampai lebih dari setengah jam setelah pelajaran pertama dimulai.
Aku mengegas pespaku lebih cepat lagi, takut dihukum gara-gara tidak melaksanakan piket di sekolah. Sesuai prediksi, sesampai di sekolah, sosok wanita tinggi ceking yang tidak kenal kompromi, berambut agak kriwul dan bermuka tirus putih kepucat-pucatan, sudah berdiri di depanku dengan wajah tegasnya yang, kali ini tampak semakin seram saja bagiku. Dia lah Bu Sandra, guru BP, yang selalu coba dijauhi hampir sebagian besar siswa di sekolahku. Si Mak Lampir, begitu kami menjulukinya diam-diam, tiap pagi melenggang kangkung keliling kelas untuk memeriksa “keganjilan-keganjilan” yang ada, termasuk keterlambatanku pagi itu. Hari yang apes.
“Berhenti!!!,” teriaknya, menghadangku, membuat gendang telingaku sedikit berdengung. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja aku di introgasi dengan beribu pertanyaan yang membuat ciut nyaliku. Aku yang bertubuh kecil, bagaikan David di hadapan Goliat, yang hanya bisa tertunduk lesu mengikuti perintah Guru BP yang masih melajang ini. “Dah tau hari ni jadwal piketmu, pake acara telat segala!!! Mau lari dari tanggung jawab ya???!!!”, hardiknya. Jantungku berdegup kencang, sementara suaraku seperti ditelan bumi dan terbata-bata menjawabnya. “Sss.. sa.. sa.. saya telat bangun bu. Semalam begadang gara-gara nonton Argentina lawan Jerman”. Tapi dasar maniak bola dan kebetulan tim favoritku bantai Messi dkk. Dengan skor 0-4, ditambah pemain idolaku Miroslav Klose, nyumbang gol, sekejap saja, penyakit cerewetku kambuh dan bercerita dengan lancar, tanpa memperhatikan mimik wajah si Mak Lampir yang makin merah padam seperti habis kena cipratan “bom” gas elpiji 3 kg. “Bu guru tau gak, tadi malem tuh pemain bola yang aku idolain, itu loh si Klose, udah ganteng, berhasil nyetak gol lagi. Gak sia-sia aku tongkrongin TV sampe pagi. Hebat kan Bu?!”. Dia yang sedari tadi menyimak celotehanku akhirnya semakin kehilangan kontrol, langsung mendapratku habis-habisan. “Stop.. Stop... stop !!! Cukup basa-basimu. Kamu ini bener-bener keterlaluan. Udah tau salah, gak punya tatakrama lagi. Siswa macam apa kamu ini.”
Aku tersadar. Tubuhku mendadak menggigil beku, serasa seperti tersiram air es mendengar “auman” keras guru yang terkenal galak ini. Aku diam seribu bahasa, hanya bisa pasrah atas ketololan yang baru saja aku lakukan.
“Sekarang juga, kamu lari keliling lapangan sekolah 10 putaran. Setelah itu, pungut sampah di lapangan sampai bersih. Sekarang!!!, teriaknya marah seraya menunjuk ke arah lapangan sekolah. Aku benar-benar tertunduk malu menyesali apa yang telah aku perbuat. “Baik bu”, ucapku lirih.
Dua pelanggaran telah aku lakukan hari ini. Kecewa, marah, sekaligus menyesal. Nasi sudah menjadi bubur. Sebuah konsekuensi logis atas jejak-jejak tindakan yang sudah terjadi, mungkin, bisa jadi cermin untukku ke depan. Entahlah.
            Sementara aku masih menjadi yang terhukum, teman-teman yang lain belajar seperti biasanya. Sampai akhirnya, dua jam yang melelahkan itu lunas terbayar. Aku langsung masuk kelas disambut teriakan-teriakan bernada mengolok-olok dari teman-teman sekelasku. Aku hanya bisa tersenyum malu. Beruntung, suara-suara itu segera menghilang setelah pak guru IPA yang baik hati itu membelaku.
Aku langsung mengambil tempat duduk yang biasa aku tempati seraya membuka buku pelajaran. Secara seksama ku coba mengikuti arah penjelasan yang sedang disampaikan pak guru untuk mengalihkan perhatian teman-teman kelas yang sempat ramai gara-gara keterlambatan dan kesalahanku sebelumnya. Nafas lega dan sumringah rasa sedikit menyembul dalam benakku setelah keadaan ruang kelas mulai terkendali. Namun, upayaku ternyata tidak cukup berhasil mengelabui sikap kalem    pak guru yang murah senyum itu. Dengan langkah perlahan dia  menghampiri mejaku lalu menanyakan soal pekerjaan rumah (PR) yang dia berikan seminggu yang lalu.
“Baah, mati aku, lupa lagi. Duh gimana nich masak kena hukuman yang kedua kalinya”, keluhku dalam hati. Aku coba menguatkan pikiran dan hatiku. Perlahan ku coba menjelaskan sebaik mungkin, agar kejadian tolol terhadap Ibu BP tidak terulang lagi. “Sebelumnya, saya minta maaf pak, saya benar-benar lupa kalau ada tugas dari bapak. Sekali lagi maaf”, jelasku mengiba. Tetap saja usahaku tidak menuai hasil. Pak guru yang tadinya sempat membuatku tersenyum menang atas pembelaannya, kini, seakan-akan tidak peduli. Kerut kening dan tarikan nafasnya tampak jelas menunjukkan tanda-tanda tidak baik buatku. Aku menunduk, terdiam.
 “Kamu ini sudah telat, lupa pula mengerjakan tugas dari bapak. Keluar kamu dari kelas ini jangan ikut pelajaran bapak”, tegas suaranya menggelegar memarahiku. Wajah imutku memerah malu. Aku keraskan hati menahan tangis yang mau keluar. Dengan kepala tertunduk seakan menyentuh tanah perlahan aku bangkit dan beringsut meninggalkan kelas diringi kicau ejekan teman-teman seperti saat aku memasuki kelas. Taman rindang di halaman depan sekolah, tempat biasanya aku melepas keluh kesah, tempat favoritku berbagi suka-duka dengan alam, di situlah aku melepas tubuhku, menyesali dan merenungi sejumlah kejadian beruntun yang menimpaku tiga jam terakhir pagi ini. Aku sadar aku salah.
            Lamunanku tiba-tiba buyar oleh gangguan suara keras bel sekolah yang berdentang cukup panjang. “Pertanda pulang sekolah kah?,” tanyaku heran. Ku amati jam tanganku, waktu baru menunjukkan pukul 10 WITA. Masih terlalu pagi. “Inikan waktunya keluar main?,” tanyaku lagi. Seperti biasa, di waktu yang sama pada hari-hari lain, seharusnya bel berbunyi tiga kali sebagai isyarat keluar main.
Sontak mataku mengitari setiap ruang kelas. Tampak siswa-siswi berhamburan keluar membawa semua perlengkapan sekolahnya yang berarti mata pelajaran hari ini sudah selesai semua. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan seorang teman kelasku menenteng tas milkku yang ku tinggal di kelas seraya menghampiriku dan menceritakan kalau hari ini kita pulang lebih awal karena seluruh guru akan melaksanakan rapat untuk mempersiapkan agenda UAN kelas 3 yang empat hari lagi berlangsung. “pantes aja belnya panjang,” sahutku pada Eva, sahabat karibku ini.
Mulai jum’at besok, selama seminggu ke depan, kilah Eva, menjadi hari tenang sekaligus sekolah diliburkan untuk persiapan ujian kakak-kakak kelas kami. Beruntung bagiku punya sahabat sebaik Eva yang selalu hadir di kala susah maupun senang. Dia satu-satunya sahabat yang paling setia menemaniku meski kadang aku terlampui cuek di hadapan dia dan teman-teman yang lain. Sejurus kemudian, lembut aku menarik tangannya, mengajak ke tempat pespa butut kesayanganku ku parkir. Kami pun pulang bareng.
Ku geber pespaku keluar dari area sekolah. Belum terlalu jauh jarak yang kami tempuh, pespaku melenggak-lenggok tidak karuan, membuatku hampir terjatuh. Sial. Ternyata ban depan kuda besi imutku kempes. Dua buah paku nancap di dua bagian ban. “huhh, sial, sapa yang tega-teganya buang paku di tengah jalan begini,” gerutuku.
            Refleks kepalaku tertuju ke bengkel tambal ban. Mataku melirik kanan-kiri, sejauh mata memandang, yang tampak hanya deretan pohon-pohon kecil di pinggir jalan yang sepertinya baru ditanam. Sepi. Tidak ada tanda-tanda lokasi jasa pelayanan perbaikan motor yang biasanya ada di pinggir jalan. Ini berarti aku harus menuntun “si imut”. Sementara Eva juga harus menjadi “korban” dari nasib sialku sedari pagi tadi.   “Udah, ayo jalan, ntar kita gantian tuntun pespamu,” sontak Eva mengingatkan.
Hati ku serasa ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Beruntung Eva yang melihat perubahan di wajahku segera menenangkan hatiku yang lagi berkecamuk dengan kata-kata lembut dan welas-asihnya. “yang sabar yach, semuanya ada hikmahnya,” ucapnya tulus. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan di siang menyengat itu berbalut peluh yang membanjiri tubuh dan pakaian seragam sekolahku. Langkah kaki makin terasa berat dan tubuh mulai sempoyongan. Sampai akhirnya, 30 menit kemudian, di saat nafas semakin kembang-kempis dan semangat sudah hampir habis, kami menemukan bengkel yang kami cari. “Alhamdulillah,” celetuk kami berbarengan.
Setengah jam kemudian ban vespa bututku kembali normal. Aku langsung menungganginya menuju rumah Eva, terus melanjutkan perjalanan pulang. Di sepanjang jalan aku coba berdamai dengan nasib sial yang ku alami dengan bernyanyi-nyanyi melantunkan lagu “Bukan Permainan” milik Gita Gutawa.
            Setengah jam kemudian, akupun tiba di rumahku setelah memarkirkan motor di bagasi samping rumahku. Aku langsung masuk kamar dan mulai membaringkan tubuhku di atas kasur yang empuk dan nyaman. Rasa kantuk tidak tertahan lagi setelah sudah cukup lama menderita setengah hari dan akhirnya akupun tertidur pulas sampai lupa lepas sepatu dan makan siang. Tiga jam kemudian suara gedoran di pintu kamarku terdengar sangat berisik dan mengganggu. Ternyata mamaku berusaha untuk membangunkanku. “Aduh, Vira tidur kok malah pake’ sepatu sich sayang..,” ucap mamaku penuh kasih sayang. Lantas aku menceritakan kejadian-kejadian buruk yang menipaku hari itu. “Vira di hukum di sekolah gara-gara telat, gara-gara lupa ngerjain tugas, terus parahnya lagi, tadi pas pulang di tengah jalan ban motor Vira pecah ma,” nadaku menjelaskan. Mamaku terbahak-bahak mendengar keluh manjaku. “Hahaha, sapa suruh begadang sampe tengah malem. Udah sana mandi dulu gieh, abis itu makan. Mama udah siapin makanan di meja makan,” pinta mamaku penuh. Aku mengangguk mengiyakan. 
            Keesokan harinya, aku mulai bangun lebih awal meski aku tau hari itu masih libur tenang. Kejadian kemarin membangkitkan semangatku untuk coba berbenah memperbaiki hal-hal yang tidak baik. dan siap-siap untuk berangkat sekolah. Semua sudah siap, sarapan uda, motor jugaq uda dipanasin. Tinggal jalan aja sekarang, ehhehee... Hmm semoga hari ini tidak terjadi kesialan seperti kemarin, amiin.. Akupun langsung menstater pespaku seperti biasanya. Beberapa menit kemudian, aku tiba disekolah. Senengnya gag telat lagi kaya kemarin, hmm aku langsung menuju kelasku. Hari ini proses belajar mengajar di tiadakan, di ganti dengan bersih-bersih ruang kelas masing-masing. Setelah semua siswa/siswi membersihkan kelasnya masing-masing, mulailah aku beristirahat sejenak. Sahabat-sahabatku menghampiriku dan mengajakku ke toko milik sahabatku. Yaah kebetulan lagi gag belajar jadi enak keluar masuk sekolah. Dan ternyata di toko milik sahabatku banyak banget dijual pernak-pernik cewek, mulai dari gelang, kalung, bandana pokoknya semua-semuanya dech. Saking senengnya milih gelang-gelang sampe lupa waktu. Pak Suitre selaku kepala sekolah melihat kami di toko milik sahabatku dan adik-adik kelas yang lagi melihat pak Suitre langsung melaporkan hal-hal yang gag jelas tentang aku dan sahabat-sahabatku. Aku dan sahabat-sahabataku langsung di panggil, satu persatu nama kami di tulis di selembar kertas. Lalu kami di suruh membersihkan 3 ruangan yang masih kotor. Ckckck, gag nyangka sial yang kemarin datang lagi. Huhuhuu, gerutuku. Tapi agak lumayanlah dihukum bareng sahabat jadi gag terasa capek, hhe.. Ketika kami melihat  adik-adik kelas yang melaporkan kami tadi, kami langsung memasang wajah masam dan sinis ke mereka. Awas kalian semua, kami akan membalas kalian, kata sahabatku sambil mengeluarkan ekspresi marah.
            Tekadku bulat. Kesialan yang aku alami seharian kemarin, akan ku jadikan pelajaran dalam hidupku. Aku percaya, setiap tindakan selalu meninggalkan jejaknya. Jejak adalah cermin sejarah yang selalu berharga sebagai bekal untuk hari esok yang lebih cerah. Jejak sialku itu satu dari sekian catatan hitam yang akan selalu tercatat dalam memori otakku. Ya, aku menyebut kesialan itu sebagai “Catatan Hitam” yang tersimpan rapi dalam diary ku. Sebuah catatan sederhana tapi begitu berharga. Mulai dari tidak melaksanakan piket, tidak mengerjakan tugas, keluar dari lingkungan dan lain- lain, aku block dengan tinta hitam besar kehidupanku.
Kesalahan, sekecil apapun, adalah catatan warna hitam yang berusaha untuk ku hapus perlahan-lahan dalam hidupku. Aku bertekad, mulai sekarang tak ada lagi Catatan Hitam dalam diaryku, karena aku akan mengisi hari-hariku dengan Catatan Putih yang lebih baik. Semua hal yang aku alami, akan aku jadikan pelajaran dalam hidupku dan berjanji tak akan mengulanginya kembali. 

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar